Minggu, 30 Agustus 2020

UCAPKANLAH “ALHAMDULILLAH....

 

UCAPKANLAH “ALHAMDULILLAH......”[1]

 

(Hal-76) As-syukru (syukur) dalam bahasa Arab, artinya ‘irfan al ihsan wa nasyruhu atau mengakui kebaikan dan menyebarkan kebaikan itu. Menurut Ibnul Qayyim rahimahullah, “Syukur itu ketetapan hati dalam mencintai Yang Memberi nikmat, juga ketetapan anggota tubuh untuk mentaati-Nya, serta terus-menerusnya lisan untuk berdzikir dan memuji-Nya. (Madarij Salikin, 2/136)



Saudaraku,

Dalam ungkapan yang lebih sederhana tapi mendalam, Al Hafidz Ibnu Hajar mengatakan, “Syukur itu mengakui nikmat dan melakukan pengabdian pada yang memberi nikmat.” Lalu, Fudhail bin Iyadh rahimahullah mengatakan, “Mensyukuri semua nikmat itu adalah tidak bermaksiat pada Allah setelah menerima nikmat itu.” Ia juga mengatakan,”Hakikat syukur itu adalah ketika kondisi seseorang tidak mampu lagi mensyukuri nikmat Allah, karena banyaknya.”

Syukur nikmat itu tak hanya dengan lisan. Tidak hanya sekadar (Hal-77) memuji Allah dan berdzikir, tetapi juga termasuk membaca Al Quran yang juga menggunakan lisan, menyampaikan nasihat yang baik kepada orang lain, berbicara tentang nikmat Allah dan tidak mengingkarinya yang semuanya menggunakan lisan. Syukur  dengan cara seperti ini sangat dianjurkan oleh Rasulullah saw. Itu sebabnya, dalam hadist disebutkan bahwa Rasul saw kerap bertanya pada sahabatnya,”Bagaimana kabarmu wahai Fulan?” Kemudian dijawab,”Aku memuji Allah swt” Rasulullah lalu bersabda,”Inilah yang aku inginkan darimu..” (HR. Thabrani dishahihkan oleh Al Abani).

Karena suasana yang dibangun Rasulullah saw itu, para sahabat radhiallahu anhum, meski sering bertemu, mereka tetap menanyakan kabar satu sama lain. Seperti perkataan Ibnu Umar radhiallahu anhu, “Kami bisa saja berulangkali bertemu dalam satu hari, tapi satu sama lain dari kami tetap saling bertanya kabar. Kami tidak ingin dari itu, kecuali saudara kami memuji Allah swt.” (HR Baihaqi)

Saudaraku,

Apakah syukur dipraktikkan hanya saat seseorang menerima nikmat saja? Jawabannya, bisa iya, bisa juga tidak. Sebab, saat kita mengalami suatu kedukaanpun, sebenarnya, ada banyak nikmat yang Allah swt berikan di sekeliling kedukaan atau bencana itu. Dan itulah cara syukur yang didalami oleh orang-orang shalih.

Perhatikanllah Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, saat menceritakan bagaimana sebagian ahli ilmu menyebutkan bahwa Allah swt memerintahkan pada Malaikat-Nya untuk memberikan sesuatu yang membahagiakan pada seorang hamba-Nya yang beriman. Setiap kali diberikan sesuatu yang membahagiakan, hamba itu mengatakan,”Alhamdulillah ... Alhamdulillah ... maa syaa Allah ...” Kemudian Allah swt memerintahkan Malaikat-Nya untuk memberikan sesuatu yang menyedihkan dan menakutkan hamba-Nya itu. Tapi tetap saja hamba itu meski mendapatkan sesuatu yang tidak ia sukai, mengatakan, ”Alhamdulillah,alhamdulillah”. Maka, Allah swt berfirman,”Aku melihat hamba-Ku memujiku ketika Aku memberikan sesuatu yang menakutkannya, sebagaimana ketika Aku memberi kesenangan padanya. Masukkanlah hambaku itu ke dalam surga-Ku karena ia telah memuji-Ku dalam segala keadaan.” (Syu’abul Iman 4/117)

Mari merenungkan bagaimana sikap orang-orang shalih selalu memuji Allah swt, dalam kondisi apapun keadaan mereka. Syuraih rahimahullah mengatakan, “Sungguh aku ditimpa musibah, tapi aku tetap memuji Allah atas musibah itu karena empat perkara. (Hal-78)  Pertama, aku memuji Allah, karena aku tidak ditimpa musibah yang lebih besar dari yang aku terima. Kedua, aku memuji Allah karena aku diberikan kesabaran oleh Allah dalam menghadapi musibah. Ketiga, aku memuji Allah swt karena Allah swt telah menempatkan aku dalam kondisi aku bisa berharap pahala dari-Nya. Dan keempat, aku memuji Allah karena tidak ditimpakan musibah dalam urusan agamaku.”Dari mana mereka mendapatkan energi untuk bisa tetap bersyukur dan mengucap “Alhamdulillah”? Jawabnya adalah, dari kesadaran dan pengetahuan mereka yang begitu mendalam terhadap nikmat Allah swt yang diberikan kepada mereka.

Saudaraku,

Pernah ada seorang sahabat yang terburu-buru datang berusaha bergabung dalam shaff shalat berjamaah. Setelah sampai di shaff, ia mengatakan,”Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubaarakan fiih?” Setelah selesai shalat, Rasulullah bertanya, “Siapa diantara kalian yang mengatakan, ”Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubaarakan fiih?” Para sahabat awalnya terdiam. Namun kemudian, seorang sahabat berkata, “Aku ya Rasulullah. Aku terburu-buru berjalan untuk bisa bergabung dalam shaff shalat berjamaah. Lalu aku mengatakan itu.” Rasulullah saw bersabda,”Aku melihat duabelas Malaikat berlomba mengangkat orang yang mengucapkan kalimat itu.” Setelah itu Rasulullah Saw bersabda,”Bila salah seorang kalian berjalan untuk shalat, hendaklah berjalan dengan tenang. Lalu Shalatlah, sebagaimana yang ia dapatkan. Lalu tunaikanlah yang tertinggal.” (HR. Bukhari dan Ahmad)

Saudaraku,

Bersyukur bukan hal mudah. Tanpa terus menggali untuk mengenal Allah swt, kita akan sulit merasakan kesyukuran. Tanpa berupaya merenungi nikmat demi nikmat Allah swt kepada kita, tidak akan mudah menghadirkan kedamaian syukur dalam hati. Tanpa berusaha mengalahkan kecenderungan manusiawi yang selalu menginginkan lebih baik, kita akan susah memiliki sikap syukur. Tanpa menghadirkan rasa tunduk dan patuh pada kehendak Allah Swt Yang Maha Kuasa, Yang Maha Tahu, Maha Kasih Sayang, kita sulit mengucapkan kesyukuran atas keadaan yang kita terima.

Mari banyak-banyak mengucapkan “Alhamdulillah”. Semakin banyak kita mengucapkannya, tekanan dalam jiwa akan semakin berkurang dan hati menjadi kian lapang. Semakin banyak kita mengucapkan “Alhamdulillah” akan selalu membawa keberkahan, lalu wajah menjadi lebih menarik, berseri dan penuh sabar. Semakin banyak kita mengucapkan “Alhamdulillah” berarti tak akan ada yang dapat melukai hati kita, dan menyakiti kita.

Saudaraku,

Mari mulai kebiasaan untuk mensyukuri nikmat Allah swt dengan menghidupkan kembali sunnah para sahabar dulu yang bertanya kepada saudaranya,”Bagaimana kabarmu saudaraku?”

Bagaimana jawabmu saudaraku?

( Sekretariat Masjid Arfaunnas Universitas Riau ,Kamis, 21 April 2010, 09:51:32WIB )

 

        

 

 

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 225 Th.11, Jumadil Awal 1431 H, 22 April 2010, hal. 76-78

Tidak ada komentar:

Posting Komentar