UCAPKANLAH “ALHAMDULILLAH......”[1]
(Hal-76) As-syukru (syukur) dalam bahasa Arab, artinya ‘irfan
al ihsan wa nasyruhu atau mengakui kebaikan dan menyebarkan kebaikan itu.
Menurut Ibnul Qayyim rahimahullah, “Syukur itu ketetapan hati dalam
mencintai Yang Memberi nikmat, juga ketetapan anggota tubuh untuk mentaati-Nya,
serta terus-menerusnya lisan untuk berdzikir dan memuji-Nya. (Madarij
Salikin, 2/136)
Saudaraku,
Dalam ungkapan yang lebih sederhana tapi mendalam, Al
Hafidz Ibnu Hajar mengatakan, “Syukur itu mengakui nikmat dan melakukan
pengabdian pada yang memberi nikmat.” Lalu, Fudhail bin Iyadh rahimahullah mengatakan,
“Mensyukuri semua nikmat itu adalah tidak bermaksiat pada Allah setelah
menerima nikmat itu.” Ia juga mengatakan,”Hakikat syukur itu adalah ketika
kondisi seseorang tidak mampu lagi mensyukuri nikmat Allah, karena banyaknya.”
Syukur nikmat itu tak hanya dengan lisan. Tidak hanya
sekadar (Hal-77) memuji
Allah dan berdzikir, tetapi juga termasuk membaca Al Quran yang juga
menggunakan lisan, menyampaikan nasihat yang baik kepada orang lain, berbicara
tentang nikmat Allah dan tidak mengingkarinya yang semuanya menggunakan lisan.
Syukur dengan cara seperti ini sangat
dianjurkan oleh Rasulullah saw. Itu sebabnya, dalam hadist disebutkan bahwa
Rasul saw kerap bertanya pada sahabatnya,”Bagaimana kabarmu wahai Fulan?” Kemudian
dijawab,”Aku memuji Allah swt” Rasulullah lalu bersabda,”Inilah yang aku
inginkan darimu..” (HR. Thabrani dishahihkan oleh Al Abani).
Karena suasana yang dibangun Rasulullah saw itu, para
sahabat radhiallahu anhum, meski sering bertemu, mereka tetap menanyakan
kabar satu sama lain. Seperti perkataan Ibnu Umar radhiallahu anhu, “Kami
bisa saja berulangkali bertemu dalam satu hari, tapi satu sama lain dari kami
tetap saling bertanya kabar. Kami tidak ingin dari itu, kecuali saudara kami
memuji Allah swt.” (HR Baihaqi)
Saudaraku,
Apakah syukur dipraktikkan hanya saat seseorang menerima
nikmat saja? Jawabannya, bisa iya, bisa juga tidak. Sebab, saat kita mengalami
suatu kedukaanpun, sebenarnya, ada banyak nikmat yang Allah swt berikan di
sekeliling kedukaan atau bencana itu. Dan itulah cara syukur yang didalami oleh
orang-orang shalih.
Perhatikanllah Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, saat
menceritakan bagaimana sebagian ahli ilmu menyebutkan bahwa Allah swt
memerintahkan pada Malaikat-Nya untuk memberikan sesuatu yang membahagiakan
pada seorang hamba-Nya yang beriman. Setiap kali diberikan sesuatu yang
membahagiakan, hamba itu mengatakan,”Alhamdulillah ... Alhamdulillah ... maa
syaa Allah ...” Kemudian Allah swt memerintahkan Malaikat-Nya untuk memberikan
sesuatu yang menyedihkan dan menakutkan hamba-Nya itu. Tapi tetap saja hamba
itu meski mendapatkan sesuatu yang tidak ia sukai, mengatakan, ”Alhamdulillah,alhamdulillah”.
Maka, Allah swt berfirman,”Aku melihat hamba-Ku memujiku ketika Aku memberikan
sesuatu yang menakutkannya, sebagaimana ketika Aku memberi kesenangan padanya.
Masukkanlah hambaku itu ke dalam surga-Ku karena ia telah memuji-Ku dalam
segala keadaan.” (Syu’abul Iman 4/117)
Mari merenungkan bagaimana sikap orang-orang shalih
selalu memuji Allah swt, dalam kondisi apapun keadaan mereka. Syuraih rahimahullah
mengatakan, “Sungguh aku ditimpa musibah, tapi aku tetap memuji Allah atas
musibah itu karena empat perkara. (Hal-78) Pertama,
aku memuji Allah, karena aku tidak ditimpa musibah yang lebih besar dari yang
aku terima. Kedua, aku memuji Allah karena aku diberikan kesabaran oleh Allah
dalam menghadapi musibah. Ketiga, aku memuji Allah swt karena Allah swt telah
menempatkan aku dalam kondisi aku bisa berharap pahala dari-Nya. Dan keempat,
aku memuji Allah karena tidak ditimpakan musibah dalam urusan agamaku.”Dari
mana mereka mendapatkan energi untuk bisa tetap bersyukur dan mengucap “Alhamdulillah”?
Jawabnya adalah, dari kesadaran dan pengetahuan mereka yang begitu mendalam
terhadap nikmat Allah swt yang diberikan kepada mereka.
Saudaraku,
Pernah ada seorang sahabat yang terburu-buru datang
berusaha bergabung dalam shaff shalat berjamaah. Setelah sampai di shaff, ia
mengatakan,”Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubaarakan fiih?” Setelah
selesai shalat, Rasulullah bertanya, “Siapa diantara kalian yang mengatakan, ”Alhamdulillahi
hamdan katsiran thayyiban mubaarakan fiih?” Para sahabat awalnya terdiam. Namun
kemudian, seorang sahabat berkata, “Aku ya Rasulullah. Aku terburu-buru
berjalan untuk bisa bergabung dalam shaff shalat berjamaah. Lalu aku mengatakan
itu.” Rasulullah saw bersabda,”Aku melihat duabelas Malaikat berlomba
mengangkat orang yang mengucapkan kalimat itu.” Setelah itu Rasulullah Saw
bersabda,”Bila salah seorang kalian berjalan untuk shalat, hendaklah berjalan
dengan tenang. Lalu Shalatlah, sebagaimana yang ia dapatkan. Lalu tunaikanlah
yang tertinggal.” (HR. Bukhari dan Ahmad)
Saudaraku,
Bersyukur bukan hal mudah. Tanpa terus menggali untuk
mengenal Allah swt, kita akan sulit merasakan kesyukuran. Tanpa berupaya
merenungi nikmat demi nikmat Allah swt kepada kita, tidak akan mudah
menghadirkan kedamaian syukur dalam hati. Tanpa berusaha mengalahkan
kecenderungan manusiawi yang selalu menginginkan lebih baik, kita akan susah
memiliki sikap syukur. Tanpa menghadirkan rasa tunduk dan patuh pada kehendak
Allah Swt Yang Maha Kuasa, Yang Maha Tahu, Maha Kasih Sayang, kita sulit
mengucapkan kesyukuran atas keadaan yang kita terima.
Mari banyak-banyak mengucapkan “Alhamdulillah”. Semakin
banyak kita mengucapkannya, tekanan dalam jiwa akan semakin berkurang dan hati
menjadi kian lapang. Semakin banyak kita mengucapkan “Alhamdulillah” akan
selalu membawa keberkahan, lalu wajah menjadi lebih menarik, berseri dan penuh
sabar. Semakin banyak kita mengucapkan “Alhamdulillah” berarti tak akan
ada yang dapat melukai hati kita, dan menyakiti kita.
Saudaraku,
Mari mulai kebiasaan untuk mensyukuri nikmat Allah swt
dengan menghidupkan kembali sunnah para sahabar dulu yang bertanya kepada
saudaranya,”Bagaimana kabarmu saudaraku?”
Bagaimana jawabmu saudaraku?
( Sekretariat Masjid Arfaunnas Universitas Riau ,Kamis,
21 April 2010, 09:51:32WIB )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar